Mencoba Kereta Cepat

Awalnya saya hanya ingin menulis pengalaman saya menggunakan Whossh si kereta cepat Jakarta (sekitar) Bandung, hanya saja saya merasa gatal ingin membahas bagaimana saya yang awalnya begitu menantikan menjadi biasa saja bahkan cenderung tidak perlu, jadi mulai dari sana dulu saja.

Desas-Desus.

Sepertinya banyak hal dimulai dari desas-desus, begitupun dengan kereta cepat ini, saat pertama kali saya mendengar desas-desus kereta cepat bisa dibilang saya adalah orang yang cukup menantikan hadirnya moda transportasi baru ini, alasannya sederhana, karena walaupun kantor saya di Bandung, saya cukup rutin tiap minggu untuk bekerja di Jakarta.

Sebagai orang Bandung yang rutin pulang pergi ke Jakarta, hadirnya kereta cepat Jakarta-Bandung adalah sebuah kegembiraan, ya setidaknya buat saya, terlebih saya memiliki pengalaman ketika pulang selepas Maghrib di sekitaran stasiun Sudirman Jakarta dan tiba di Bandung, tepatnya di Jalan Cihampelas sekitar pukul 1 dini hari, semua karena ada gangguan di jalan tol Cipularang.

Awalnya kabar yang saya dengar itu harga akan sekitar 300 ribu, entah darimana angka itu datang tapi bagi saya jika bisa menghemat waktu harga itu cukup adil menginat saya punya pengalaman yang tadi saya sebutkan. Bagaimanapun semua perkara pilihan, antara habis uang atau habis waktu.

Bosan.

Saya mendengar kabar itu ketika saya masih bekerja di Bandung, lalu setelah itu saya pergi ke Jakarta, berpindah kantor beberapa kali, mengalami kantor yang bisa dibilang sudah menjelang ajal sehingga melepas banyak karyawan, bertemu seorang wanita yang kemudian menjadi pacar dan berubah menjadi istri, lalu punya anak dan akhirnya memutskan pindah domisili dari Bandung ke lokasi saat ini. Setelah melalui itu semua info kereta cepat ini muncul dengan kabar sudah selesai dibangun dan bukan di tengah Bandung lokasi tujuannya tapi di sekitar Bandung. Kecewa.

Saat ini saya bisa dibilang cukup punya kemewahan karena pekerjaan yang cukup fleksibel sehingga saya bisa dengan mudah menghindari kemacetan ketika hendak berangkat menuju Bandung, begitupun dengan pilihan moda transportasi dari bis, travel, kereta dan kendaraan pribadi bisa menjadi opsi yang dengan mudah saya pilih, tentu saja masing-masing pilihan ada kelebihan dan kekurangannya, namun dari semua moda transportasi tersebut memiliki kelebihan dibanding Whoosh adalah mereka tiba di tengah kota Bandung.

Mencoba Whoosh!

Sudahi saja curhatnya kali ini mari mulai bercerita bagaimana pengalaman menggunakan Whoosh, kebetulan kali ini memilih Whoosh karena beberapa alasan:

  • Penasaran ingin coba.
  • Anak sedang menggemari kereta.
  • Tidak punya waktu banyak, dan Whoosh memungkinkan PP dengan cepat.

Mari mulai pengalaman dengan membeli tiket.

Sudah menjadi kebiasaan saat hendak bepergian saya lebih senang menggunakan aplikasi pihak ketiga seperti traveloka atau tiket, tapi sayang saat saya mencoba mencari tiket Whoosh saya belum menemukan opsi pembeliannya, akhirnya saya mencoba membeli dari situs resminya.

Jujur saja, tampilan halaman web resminya kurang menyenangkan, dan entah kenapa terasa begitu lambat, akhirnya daripada pusing saya memutuskan mengunduh dan memasang aplikasi KAI Access.

Pertama KAI Access menurut saya aplikasi yang cukup baik, hanya saja ternyata saya tidak menyadari bahwa pembelian tiket Whoosh ini berbeda dengan menu kereta biasanya, asumsi saya Whoosh ini semacam webview khusus kehalaman tiket Whoosh.

Setidaknya ada 3 hal yang membuat tidak nyaman, tapi sebelumnya tidak ada niatan apapun terhadap para programmer yang membuatnya ya, jadikan ini hanya sebatas testimoni pengguna.

Hal yang mengganggu pertama, tombol kembalinya langsung ke halaman awal aplikasi, jujur itu cukup menyebalkan apalagi ketika hendak mengoreksi pilihan kursi dari harapan ke tampilan pilihan kursi ini balik lagi ke halaman awal aplikasi.

Hal kedua adalah, mungkin ini kebiasaan saya tapi umumnya yang saya ingat dalam aplikasi pemesanan tiket ada pilihan pembeli adalah penumpang. Tapi bisa saja ini kesalahan di saya, jangan-jangan ada menunya atau pilihannya tapi saya tidak melihat saat saya membeli untuk istri dan anak pilihan tiketnya hanya satu yaitu tiket untuk istri, tiket saya tidak tampil dan tidak ada pilihan, ternyata saya harus mendaftarkan manual ke dalam daftar penumpang.

Ketiga ini yang paling menyebalkan, saat selesai transaksi otomatis saya menutup aplikasi, tidak lama kemudian terdapat email pemberitahuan bahwa transaksi sukses, langsung saja saya kembali membuka aplikasi KAI Access, pilih menu inbox atau transaksi namun saya tidak menemukan tiket yang saya beli, panik? Jelas, nominal 1 juta untuk PP bukan nominal kecil, tapi sekali lagi ini ternyata ada, tapi di dalam menu Whoosh bukan di dalam menu yang muncul di depan.

Stasiun

Saya berangkat dari Halim, setibanya di sana lokasinya cukup luas, tidak berasa di sebuah stasiun seperti Gambir yang begitu aktif dengan orang-orang yang lalu-lalang. Setibanya di sana saya langsung mencari penukaran tiket fisik, betul memang bisa menggunakan QRCode tapi saya untuk hal-hal seperti ini lebih memilih memegang tiket fisik, tiket digital hanya untuk cadangan saja.

Bagi kalian yang pernah menggunakan kereta biasa bukan kereta cepat pasti kalian mengalami penukaran tiket yang cukup cepat. Datang, pindai barcode, cetak tiket. Singkat cepat. Bagaimana dengan tiket Whoosh?

  • Pertama pilih menu cetak tiket.
  • Kedua pilih nomor identitas paspor atau NIK
  • Masukan nama sesuai NIK
  • Masukan nomor NIK
  • Pilih tiket
  • Cetak

Jika kalian memberli lebih dari satu tiket walau dalam transaksi yang sama, ulangi langkah di atas. Apa kalian sudah merasakan ketidaknyamanan yang saya rasakan saat mencetak tiket?

Saat saya pulang, di Stasiun Padalarang saya mengantre di belakang satu orang yang harus mencetak setidaknya 3 buah tiket, dua di antaranya untuk orang tua, dan di sebelah saya sudah diingatkan petugas bahwa kereta akan segera berangkat dalam kurun waktu beberapa menit saja. Pertanyaan saya sederhana, kenapa harus menggunakan NIK kenapa tidak nomor transaksi? Sehingga bisa mencetak banyak tiket dan proses penukaran menjadi lebih cepat.

Ketidaknyamanan di atas terobati oleh petugas di dalam ruang tunggu & petugas saat boarding. Saat mereka melihat saya mengantre dengan menggendong anak, mereka dengan sigap segera memisahkan saya beserta keluarga ke barisan prioritas, hanya saja kesigapan petugas di kereta cepat dan di area tunggu tidak tertular saat di kereta feeder.

Saat dari Padalarang menuju Bandung saya cukup beruntung mendapat tempat duduk yang cukup untuk saya, istri, dan anak, tapi ketika dari Bandung ke Padalarang saya tidak seberuntung itu.

Tapi jangan salah, bukan karena saya berdiri dan minta tempat duduk, masalah berdiri di kereta saya sudah terlatih dengan KRL jalur Jakarta Kota - Bogor, berdiri di kereta feeder itu perkara mudah. Permasalahan yang ingin saya bahas adalah bagaimana kombinasi masyarakat abai dan petugas cuek menjadi kombinasi yang mematikan, saat masuk ke dalam kereta feeder istri saya masuk dengan menggendong anak, dan seketika masuk sudah terdapat kursi prioritas yang tercatat di sana direkomendasikan untuk orang tua, ibu hamil, difabel, dan yang membawa anak, tapi di sana sudah ada beberapa laki-laki, cukup muda, terlihat sehat (bisa saja mereka difabel yang tidak terlihat langsung) dan terdengar bercanda kepada kawannya bahwa dia bukan gemuk tapi hamil sehingga duduk di situ. Tidak jauh dari kursi prioritas terdapat petugas, tapi alih-alih mengingatkan penumpang artinya prioritas, si petugas hanya memotret para penumpang, tersenyum, lalu turun. Beruntung di gerbong yang berbeda ada satu keluarga mau memberi kursinya ke istri sehingga istri saya bisa duduk.

Akhir kata.

Menggunakan Whoosh bagi saya memang menjadi opsi yang menarik untuk pergi ke Bandung, apalagi jika ternyata untuk perjalanan singkat, ada urusan kerjaan jam 10 atau sehabis makan siang, dengan Whoosh lebih enak untuk pergi entah itu dari Jakarta atau dari Bandung. Tapi bagi saya lebih nyaman kereta Argo Parahyangan, walaupun waktu tempuhnya lama tapi lebih saya lebih menyukai Argo Parahyangan. Mungkin Whoosh akan terlihat lebih menggoda jika saja perjalanan bisa sampai Bandung kota atau mungkin sampai Jogja atau Surabaya.